farfis lage... aaaa

Asma merupakan penyakit kronik saluran pernafasan yang dapat menjangkiti semua usia. Gejala-gejala yang menyertai asma menimbulkan gangguan aktivitas sehari-hari.

Pasien asma memiliki kepekaan saluran pernafasan yang berlebih (hipersensitif) sehingga mudah bereaksi pada zat yang masuk ke saluran napas. Reaksi terhadap benda asing berupa penyempitan atau pemblokan saluran napas, ditandai dengan nafas berbunyi, batuk, tersengal, dan penyempitan rongga dada. Kondisi yang memicu asma adalah, inflamasi (iritasi atau peradangan) atau bronchoconstriction (penciutan atau kontraksi otot di saluran pernafasan)

Diagnosa asma dapat diperoleh dari anamnesis saat pemeriksaan. Keterangan tentang riwayat keluarga yang juga mengidap asma atau memiliki penyakit lain yang berpotensi memicu asma, seperti, alergi, hay fever, atau eksim, bisa memperkuat diagnosa. Kodisi kesehatan anak sendiri bisa dilihat apakah si anak memiliki penyakit seperti rinitis, alergi konjungtivitis, dan urtikaria. Untuk memastikan diagnosa bisa dilakukan salah satu dari rangkaian pemeriksaan yang meliputi pemeriksaan fisik, foto rontgen, tes darah dan sputum, tes alergi, dan spirometri.

"Tujuan penatalaksanaan asma, adalah mengusahakan agar asma menjadi terkontrol yang ditandai oleh gejala yang tidak ada atau minimal, tidak ada keterbatasan aktivitas, faal paru normal atau mendekati normal, tidak ada penggunaan obat agonis β-2 atau meminimalkan kunjungan ke UGD," terang Prof. Dr Faisal Yunus Sp(P), PhD dari Departemen Pulmonologi FKUI/RS Persahabatan.

Serangan asma dapat segera dipulihkan dengan penggunaan bronkodilator, semisal salbutamol. Kerja utama dari salbutamol ini adalah membuka saluran nafas yang menyempit karena serangan asma. Salbutamol bereaksi cepat dalam hitungan menit dan efeknya mampu bertahan hingga 6 jam usai pemakaian.

Penggunaan salbutamol dalam bentuk inhaler di Inggris sudah dilakukan sejak tahun 1969, dan Amerika menyusul pada 1980. Propelan atau pendorong zat aktif yang digunakan adalah CFC (chlorofluorocarbons). Namun CFC berkontribusi besar pada makin menipisnya lapisan ozon sehingga penggunaan propelant yang ramah lingkungan menjadi keharusan. Propelant baru pengganti CFC adalah HFA (hydrofluoroalkane) yang sudah tersedia mulai 2001.

Keberhasilan klinis obat inhalasi antara lain ditentukan oleh sifat fisiko-kimia obat yang memungkinkannya bekerja secara lokal di saluran pernapasan dengan efek samping sistemik minimal. "Kemasan yang sederhana dan mudah dibawa serta kemudahan dalam teknik penggunaan, menjadi keuntungan lain obat inhaler," jelas Dr. Rozaimah, spesialis paru dari Universitas Sumatera Utara, Medan.

Sayangnya, salbutamol dalam sediaan Inhalasi Dosis Terukur (IDT) juga memiliki kelemahan, yakni hanya sebagian kecil dosis obat yang masuk ke dalam saluran napas, dan sebagian besar lainnya terdeposisi di mulut dan orofaring. Ada satu cara memperbaiki penyampaian obat ke dalam saluran napas, yakni dengan menambahkan alat yang disebut spacer.

Penggunaan spacer ini sudah diteliti oleh Dr. Syafruddin, dkk dari RS Syaiful Anwar Malang. Tujuan studi ini adalah mengetahui efektivitas penambahan spacer pada salbutamol sediaan IDT terhadap reversibilitas FEV1 bila dibandingkan dengan tanpa penambahan spacer.

Hasil penelitian menunjukkan, rata-rata reversibilitas kelompok yang memakai spacer memang lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok tanpa spacer. "Perbedaan ini bermakna secara stastitik. Kelompok dengan spacer ukuran lebih kecil justru memiliki rata-rata reversibilitas terbesar, dibandingkan dengan kelompok tanpa spacer," jelas Syarifuddin. Dalam penelitian ini digunakan tiga ukuran spacer yakni kecil, sedang, dan besar.

Asma merupakan penyakit yang membutuhkan terapi jangka panjang. Karena itu penatalaksanaan jangka panjang juga memerlukan pemahaman penderita akan seluk beluk penyakitnya sehingga akan meningkatkan adheresi terhadap penatalaksanaan asma yang tepat dan benar, serta dapat memberikan dampak positif terhadap komponen farmakoekonomik. (Ani)

Comments

Popular Posts